BANTEN - TangtaraNews | Nama "Banten" yang kini menjadi salah satu provinsi di Pulau Jawa ternyata menyimpan cerita menarik di balik penamaannya.
Tidak banyak yang tahu, wilayah yang saat ini dipimpin oleh Gubernur Andra Soni itu konon disebut "Banten" karena berasal dari sebuah singkatan.
Di balik nama yang terdengar sederhana itu, tersimpan sejarah panjang dan makna mendalam yang berkaitan erat dengan akar budaya, agama, hingga kekuasaan di masa lalu.
Lantas, seperti apa sebenarnya asal-usul nama Banten dan apa makna di balik singkatan tersebut? Artikel ini akan mengulasnya secara lengkap.
Provinsi Banten yang kini dipimpin oleh Gubernur Andra Soni tak hanya dikenal sebagai wilayah strategis di ujung barat Pulau Jawa, tetapi juga menyimpan jejak sejarah yang panjang dan penuh makna.
Sebelum resmi dimekarkan dari Jawa Barat pada tahun 2000 lewat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000, daerah ini sudah memiliki identitas dan latar sejarah yang kuat, termasuk soal asal usul namanya yang cukup unik dan penuh cerita.
Menurut catatan yang dihimpun dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, nama "Banten" memiliki sejumlah versi asal-usul.
Salah satu versi menyebut bahwa "Banten" berasal dari istilah Sunda “katiban inten” yang berarti "kejatuhan intan".
Ungkapan ini memiliki makna simbolis, menggambarkan perubahan spiritual masyarakat Banten dari penyembahan berhala menuju ajaran Buddha, dan kemudian memeluk Islam.
Versi lain menyebut bahwa kata “Banten” berasal dari istilah “bantahan”, merujuk pada sikap masyarakat yang menolak dan melawan ketidakadilan, terutama terhadap aturan-aturan yang diberlakukan oleh penjajah Belanda pada masa kolonial.
Ini menunjukkan bahwa semangat perlawanan telah tertanam kuat dalam budaya masyarakat Banten sejak dahulu.
Namun, jauh sebelum Kesultanan Banten berdiri, nama “Banten” sudah digunakan untuk menyebut sebuah sungai bernama Cibanten. Nama inilah yang kemudian melekat pada wilayah sekitarnya dan digunakan sebagai identitas daerah.
Wilayah Banten dulunya merupakan bagian dari Kerajaan Sunda, di bawah kekuasaan Prabu Pucuk Umun—putra dari Prabu Siliwangi atau Prabu Sidaraja Pajajaran. Pusat pemerintahan kala itu berada di Banten Girang, yang kini dikenal sebagai salah satu situs arkeologi penting.
Masuknya Islam ke wilayah ini dimulai pada abad ke-16, ketika Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) menyebarkan ajaran Islam ke pesisir barat Jawa.
Pada tahun 1524–1525, Sunan Gunung Jati berhasil menaklukkan pemerintahan Prabu Pucuk Umun.
Sejak saat itulah kekuasaan Hindu di wilayah Banten berakhir dan digantikan oleh kekuasaan Islam.
Putra Sunan Gunung Jati, yakni Maulana Hasanuddin, kemudian diangkat menjadi sultan pertama Banten pada tahun 1552.
Sultan Maulana Hasanuddin memerintah hingga 1570, kemudian dilanjutkan oleh putranya Maulana Yusuf, dan seterusnya hingga sultan terakhir, Sultan Muhammad Rafiudin, yang memimpin pada tahun 1809–1816.
Pada akhir abad ke-16, Banten mulai berinteraksi dengan bangsa Eropa, khususnya Belanda. Cornelis de Houtman adalah tokoh dari Belanda yang pertama kali mendarat di Pelabuhan Banten dengan tujuan berdagang.
Namun sikap arogan para pedagang Belanda membuat mereka tidak disambut hangat, baik oleh rakyat maupun oleh pemerintah Kesultanan Banten, yang akhirnya memicu ketegangan antara keduanya.
Meskipun Kesultanan Banten telah runtuh, jejak sejarahnya masih bisa ditemukan hingga kini.
Dari bangunan-bangunan tua di Banten Lama, situs arkeologi Banten Girang, hingga nama-nama tempat yang masih digunakan, semua menjadi saksi bisu atas peradaban Islam yang pernah jaya di masa lampau.
(Red)